Senin, 02 Juni 2014

Cerpen Fantasi



Sebuah Jawaban

oleh  M. Luthfi
terinspirasi dari puisi Kahlil Gibran “Cinta”

Salahlah bagi orang yang mengira bahwa cinta itu datang
karena pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus.
Cinta adalah tunas pesona jiwa,
dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat,
ia takkan tercipta bertahun-tahun
atau bahkan abad.

CINTA
Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia
walau jalannya terjal berliku,
jika cinta memelukmu maka
dakaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.

CINTA
Cinta tidak menyadari kedalamannya dan terasa pada saat perpisahan pun tiba.
Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan seorang perempuan
mereka berdua telah menyentuh hati keabadian.

CINTA
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia
kerana cinta itu membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan
dan gejala alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.

CINTA
Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku
dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita
dalam kehidupan yang akan datang.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Entahlah, aku tidak tahu, Rik. Aku belum memikirkan itu.”

“Tetapi aku bersungguh-sungguh. Aku bisa saja datang ke rumahmu dan bertemu ayah ibumu, lalu mengatakan bahwa aku...”

“Tidak semudah itu, Rik. Apa kamu tidak menyadari posisi kita sekarang? Aku, aku bingung.” jawabnya dengan perasaan campur aduk.

Aku sendiri menjadi lebih bingung saat Nisa berkata seperti itu. Kata penyesalan tidak cukup untuk mewakili apa yang sedang aku rasakan. Kulihat dirinya begitu kaku, sedikit bicara, tanpa mengangkat kepalanya untuk melihat ke arahku. Tidak seperti Nisa yang kukenal, seorang gadis muda enerjik yang sangat tangkas, kreatif, dan pintar membawa suasana menjadi sangat menyenangkan. Aku jadi teringat beberapa tahun ke belakang saat pertama aku mengenal dirinya. Setahun aku mengenalnya, selama itu pula aku makin tertarik pada dirinya, dan kemudian memberanikan diri untuk mengatakan cinta kepadanya. Ia menerimaku. Ah, betapa bahagianya. Begitu besar luapan perasaan yang kurasakan saat dia mengatakan ‘iya’ dengan senyum manisnya. Begitu besarnya perasaan bahagia ini hingga kuingin bagikan kepada semua orang di sekitarku, ayah, ibu, dan teman-temanku. Namun sayangnya, aku dan Nisa hanya bisa berbagi kebahagiaan itu satu sama lain, tanpa orang lain tahu. Karena menurut kami itulah pilihan terbaik untuk kami berdua berbagi kasih di saat orang-orang di sekitar kami sangat membenci hal yang kami lakukan. Pacaran.

Namaku Ahmad Riki Al Hasan, teman-temanku sering memanggilku ‘Riki’ atau sekedar ‘Rik’. Aku besar di lingkungan keluarga yang amat menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tiap-tiap apa yang aku lakukan, harus sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku dalam ajaran agamaku. Sejak kecil aku sudah terbiasa bangun dini hari untuk solat tahajud. Sejak kecil aku juga sudah rutin melakukan puasa sunah, mau itu puasa Nabi Daud ataupun puasa senin-kamis. Kuhapalkan juz terakhir dari kitab suciku. Ratusan doa sehari-hari sudah di luar kepala. Ketika aku berumur 6 tahun, aku dimasukkan ke dalam sekolah dasar Islam, atau Madrasah Ibtidaiyah. Lulus dari sana, aku kembali masuk sekolah menengah pertama Islam, atau Madrasah Tsanawiyah. Sudah hapal dan sering diulang-ulang materi agama yang diajarkan kepadaku. Tanpa bermaksud sombong, bisa dibilang jika aku dapat tugas khotbah Jumat, aku sudah dapat dipanggil sebagai Ustad Muda. Sepertinya orangtuaku benar-benar mempersiapkanku sebagai orang yang lurus. Aku pun merasa aku sudah menjadi orang yang sesuai seperti yang kitab suci ajarkan. Meski begitu, aku merasa ada sesuatu ‘kehampaan’ yang tidak bisa aku ungkapkan.

Lulus dari MTs, aku justru masuk ke SMA biasa. Di usiaku yang menjelang 17 tahun sepertinya orangtuaku sedikit melonggarkan napasku untuk memilih apa yang aku inginkan. Sehingga aku memilih untuk bersekolah di sekolah negeri reguler, tetapi bukan berarti aku bosan dengan sekolah keagamaan. Niatku masuk ke sekolah negeri biasa karena ingin berdakwah, berbagi ilmu yang aku miliki kepada calon-calon temanku nanti. Makanya, di SMA aku mengikuti ekstrakulikuler Rohani Islam, yang sering disebut sebagai Rohis. Orangtuaku juga selalu mengawasi perkembangan masa SMA ku. Di Rohis inilah aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi tambatan pertama hatiku. Sebelumnya aku adalah orang yang tidak pernah tahu apa itu cinta. Namanya Nisa Ul Jannah, kami para anak Rohis suka memanggilnya Jannah, meski aku lebih suka memanggilnya Nisa. Ketertarikanku pada dirinya berasal dari sikap ramahnya kepada semua orang, sisi cerianya yang membuatnya bisa bergaul dengan siapa saja, serta manis wajahnya yang membuatku selalu teringat padanya. Kusebut dia manis karena memang Nisa bukanlah wanita yang cantik, tetapi manis, enak dilihat. Aku lebih suka dengan wanita yang manis namun dapat kuingat selalu, ketimbang wanita yang cantik tetapi harus berebut perhatian dengan anak laki-laki lain.

Jujur, aku tidak pernah berniat untuk melakukan apa yang disebut pacaran. Mungkin teman-teman sebayaku lainnya dapat dengan mudah melakukannya. Mengingat diriku yang sudah dijejel ilmu-ilmu agama sejak kecil, rasanya sulit untuk bisa menyentuh zona tersebut. Aku sendiri menghakimi bahwa pacaran itu haram, sebuah hubungan yang tidak sah menurut agama. Namun naluri alamiahku berkata lain. Logika yang kuterima dari sekolah negeri biasa sangat berbeda jauh dengan sekolah berbasis agama. Tidak ada yang benar atau salah, jika ada masalah maka peraturan sekolah menjadi pedoman yang tertinggi untuk menentukan siapa yang benar atau salah. Pola berpikirku semakin berkembang dan terbuka. Wawasan yang dahulu kuterima dari satu pihak, kini kuterima dari berbagai pihak. Aku mulai mengubah pandanganku tentang pacaran. Pacaran sah-sah saja, selama masih dalam batas yang wajar. Lagipula bila kita menjadi orang yang lurus-lurus saja, maka tidaklah menarik hidup kita ini.

Hubungan komunikasiku dengan Nisa semakin kupererat. Meski begitu aku tetap jaga jarak padanya, takut dia merasa kalau aku sedang mendekatinya. Aku kan tidak tahu apakah Nisa seseorang konservatif atau seseorang yang berpikiran terbuka sepertiku. Setahun kujalani komunikasi dengannya, dia sudah mulai dekat denganku. Mau berbagi cerita dan curhat kepadaku. Kami suka berjalan bersama, jika Rohis ada acara sampai malam aku diminta untuk mengantarkannya pulang. Dia percaya kepadaku. Tawa canda duka lara sudah kami lewati, meski aku belum ‘sah’ menjadi pacarnya. Aku masih ragu jika Nisa adalah orang yang bisa dipacari. Pakaiannya saja amat tertutup rapat, dengan jilbab yang panjang menjuntai sampai ke pinggangnya. Tipe-tipe wanita tarbiyah masa kini. Tetapi aku berpikir, jika tidak dicoba mana bisa aku tahu. Kemudian terjadilah usaha ‘penembakan’ dariku saat kami sedang berjalan-jalan ke taman wisata. Dan dia ternyata menerimanya. Dimulailah petualangan asmara dua muda-mudi yang dipenuhi banyak rasa penasaran.

Dua tahun berjalan, kami semakin kenal satu sama lain. Kami semakin terbuka satu sama lain. Tidak kusangka jika wanita berjilbab rapat seperti dirinya memiliki nafsu yang besar terhadap lawan jenisnya. Walau kami Rohis, kami tidak malu untuk berpegangan tangan, saling mengusap kepala, berpelukan, bahkan....lebih dari itu. Tentunya hal-hal itu kami tidak lakukan di depan orang-orang, apalagi di sekolah. Kami menjaga benar-benar hubungan kami berdua. Aku mulai bimbang dengan keadaan ini, dulu aku menaruh rasa hormat yang tinggi kepada wanita-wanita berhijab tertutup auratnya. Namun setelah aku mengenal Nisa aku jadi penasaran, apakah ada wanita-wanita berhijab lain di luar sana yang memiliki sifat seperti Nisa. Di depan teman-teman Rohis yang lain, sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia seorang bernafsu besar. Tetapi bila sedang berduaan dengan pacarnya, itu lain cerita.

Aku punya sebuah teori yang menjawab hal itu. Setiap malam aku selalu berpikir kenapa hal itu bisa terjadi. Melihat latar belakangku dan latar belakang Nisa, semuanya menjadi jelas. Kami berdua adalah korban dari kungkungan orangtua sejak kecil, yang memberontak di masa remaja. Menurut Sigmon Freud, sesuatu yang ditahan-tahan lama-lama akan meledak. Itulah yang terjadi pada kami. Kami menahan diri dari apa yang dilarang agama, tetapi akhirnya tidak kuasa kami bendung karena kami hanya remaja manusia biasa yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Aku menikmatinya selama ini meski aku sering didatangi perasaan bersalah. Orangtua kami berdua pasti akan marah sejadi-jadinya bila mengetahui hal ini. Jangankan ciuman, hanya berpandang-pandangan yang bukan muhrim saja pasti kami pasti ditegur keras. Aku mencintai dirinya dengan sungguh-sungguh. Sebuah pemikiran ekstrim melintas di kepalaku, bahwa aku akan menikahinya kelak, setelah aku menyatakan niat tulusku kepada orangtuanya.

Dan itulah yang sedang terjadi sekarang. Kami berdua duduk di bangku taman tempat kami sering bercengkerama. Aku masih menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Menunggu dengan bingung terhadap diriku sendiri. Seandainya saja kuingat niatku untuk berpacaran dengan sehat, mungkin tidak seperti ini jadinya. Tapi itu semua terjadi karena mau sama mau, suka sama suka. Ya, kami berdua sedang diliputi kegelisahan yang besar. Sebuah jawaban yang akan mempengaruhi hubunganku dengan Nisa ke depannya. Ia masih saja terdiam kaku, tanpa kata. Dan aku masih menunggu.

“Rik, kita masih sekolah. Kenapa kamu...”
 
“Karena aku serius Nis. Aku sungguh-sungguh denganmu. Dan aku juga punya tanggung jawab kepadamu. Sebuah tanggung jawab yang terlanjur aku harus lanjutkan. Aku mau kamu menjadi yang pertama dan terakhir bagiku. Kita kan sebentar lagi lulus, banyak kok yang menikah muda setelah lulus SMA. Dan itu wajar terjadi di golongan Islam seperti kita.”

“Tapi orangtua kita pasti curiga. Kita tidak pernah ketahuan dekat, tidak pernah ta’arufan dan tiba-tiba kamu datang ke orangtuaku untuk meminangku. Pasti sulit!”

Aku kembali dibuat diam olehnya. Akhirnya kumengerti sebuah pelajaran dari pengalaman ini. Dulu aku yang memutuskan untuk keluar dari jalur ‘lurus’, dan dengan mudah Tuhan mengabulkan keinginanku. Kini kuberada di jalan yang berliku, penuh hambatan dan kebingungan. Kuharap Tuhan kembali mengembalikan jalanku, dengan cara yang berbeda tentunya. Kuingin menjadi yang halal bagi Nisa, dan ia pun memiliki keinginan yang sama. Kutahu itu dari tatapan matanya yang harap-harap cemas. Namun, aku masih menunggu sebuah jawaban dari dirinya. Sebuah kepastian yang akan mengubah segalanya.

Studi Kasus HTI



HTI, Ideologi atau Provokasi?

oleh  M. Luthfi


Pada 2 Juni 2013 lalu, ratusan ribu orang mengisi Stadion Utama Gelora Bung Karno dalam acara Muktamar Khilafah, yang diadakan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia. Riuh gempita suara para pendukung organisasi yang merindukan sistem pemerintahan khilafah islamiyah ini. Takbir menggema di seluruh penjuru stadion. Gerakan ini menginginkan digantinya sistem demokrasi pancasila di Indonesia dengan sistem khilafah islamiyah yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam. Tetapi nyatanya sebagian besar masyarakat Indonesia bertanya-tanya, apakah organisasi Hizbut Tahrir itu? Ketidaktahuan ini sangatlah berbahaya, mengingat masyarakat kita mudah terprovokasi oleh suatu hal. Dan perlu adanya penjelasan yang mendetail tentang gerakan ini agar masyarakat umum tidak salah persepsi.

Hizbut Tahrir merupakan partai transnasional yang didirikan oleh Taqiyuddin An Nabhani, seorang ulama dari Palestina, pada 14 Maret 1953. An Nabhani dahulu merupakan teman baik dari Hasan Al Bana, pendiri Ikhwanul Muslimin yang organisasinya sudah memiliki banyak anak cabang di Indonesia, baik dari sektor politik maupun di sektor pendidikan. An Nabhani tadinya merupakan bagian dari organisasi itu, hingga suatu ketika dia menganggap bahwa jalan pemikiran Al Bana lemah, lalu keluar dan kemudian membentuk partai islam lain, yaitu Hizb at Tahrir al Islam. Bagi An Nabhani, prinsip moderasi yang dibawa Al Bana, membuat syariat Islam sulit dan lama untuk ditegakkan. Latar belakang militer yang dimiliki oleh An Nabhani membuat ideologi islam ala Hizbut Tahrir menjadi radikal dan militan, yang menganggap segala permasalahan harus diselesaikan melalui revolusi senjata. Gerakan revolusi ini begitu cepat menyebar di seluruh wilayah yang memiliki umat Islam. Kemudian ideologi ini masuk ke Indonesia pada tahun 1980an, oleh seorang ulama Bogor bernama KH Abdullah bin M. Nuh. Sang ajengan tertarik dengan konsep persatuan umat Islam yang diusung oleh Hizbut Tahrir. Tetapi kemudian ia berhenti dari kegiatan dakwah Hizbut Tahrir ketika mengetahui bahwa organisasi tersebut menginginkan perubahan pada sistem pemerintahan di setiap negara yang menganut demokrasi. Abdullah bin Nuh adalah seorang mantan tentara PETA, salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia, tentu saja merasa berat jika harus mengganti ideologi negara Indonesia yang telah susah payah ia rebut dan pertahankan.

Pada masa-masa tersebut, 1980-1990, organisasi ini melakukan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi di berbagai kampus dan lembaga dakwah. Pada masa itu pengaruh kekuasaan orba sangatlah besar. Namun dalam keadaan seperti itu pun Hizbut Tahrir dapat menarik jamaah yang banyak, terutama dari golongan pemuda dan mahasiswa. Hingga memasuki masa reformasi ketika otoriter akhirnya digantikan oleh demokrasi, organisasi ini mulai memperlihatkan keberadaannya. HTI mulai menggemakan suara lantang penolakan gaya pemerintahan ala barat di Indonesia. Meski sudah memasuki era reformasi, HTI menganggap bahwa peran pemerintah akan sama saja seperti masa orde baru, kecuali jika ideologi negara diganti oleh nilai-nilai Islam. Sistem presidensil harus digantikan oleh sistem khilafah, pemimpin umat Islam seluruh dunia. Berbagai kajian dakwah kampus, buletin, dan lembaran-lembaran Jumat di masjid-masjid, mereka sebarkan secara luas. Hingga puncaknya pada kegiatan Muktamar Khilafah yang diadakan Juni tahun lalu itu. Namun ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi.

Kegiatan tersebut pada kenyataannya tidak dihadiri oleh orang-orang yang benar-benar mendukung ataupun mengetahui tentang organisasi Hizbut Tahrir tersebut. Selain para anggota HTI sendiri, mereka yang datang adalah para undangan yang mendapat sms berantai di kelompok pengajiannya. Ada pula yang datang karena diajak temannya dan sekedar ingin tahu. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tentunya tidak akan sulit untuk menarik massa seperti itu. Tetapi yang tidak diketahui oleh mereka adalah ideologi radikal yang dibawa Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir dikenal suka mengkafirkan orang yang tidak sepandangan dengan dirinya. Entah disadari atau tidak, sebelum adanya ideologi ini Islam di Indonesia tidak terlalu terpecah-pecah. Setelah adanya ideologi ini, makin banyak umat Islam yang saling bermusuhan. Jika kita boleh melihat ke belakang, negara ini dibentuk oleh para founding fathers yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Bahkan mereka yang berasal dari golongan islam konservatif seperti NU, justru yang menyarankan agar sila pertama yang berbunyi ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Para bapak bangsa kita sadar bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama, bahkan beberapa di antaranya masih ada yang memegang keyakinan tradisional. Tentunya jika kita hendak membangun suatu negara yang masyarakatnya berbeda, harus dicari jalan tengahnya. Sehingga organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah, tidak setuju dengan ideologi Hizbut Tahrir. Bahkan Nabi Muhammad saw pun adalah orang yang sangat toleran terhadap agama lain. Di dalam Piagam Madinah, orang-orang Yahudi dihormati keberadaannya. Sejarah pun mencatat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalan damai, tanpa kekerasan. Dan saya pikir Hizbut Tahrir justru harus berterima kasih kepada demokrasi, karena asas kebebasan berpendapat dan berserikatlah Hizbut Tahrir bisa berdiri.

Namun kenapa Hizbut Tahrir tetap kekeuh dengan ideologi syariat Islamnya? Lagi-lagi jawabannya adalah karena masalah ekonomi, dan sama sekali tidak terikat dengan masalah agama. Masyarakat yang mendapat keadaan ekonomi yang buruk tentunya akan  berusaha apa pun untuk merubah nasibnya. Indonesia yang terkenal akan korupsinya menjadi senjata pamungkas ideologi ini melebarkan sayapnya dan menarik massa dari golongan menegah ke bawah. Karena sesungguhnya bila keadaan kita makmur dan tenteram, pasti masyarakat tidak memiliki keinginan untuk merubah lagi hidupnya. Ambil contoh negara Dubai, salah satu negara Arab dan penduduknya muslim tetapi tidak memusuhi demokrasi malah berteman baik dengan negara seperti Amerika Serikat. Itu karena negara mereka maju dan kebutuhan ekonomi masyarakatnya terisi. Orang yang lapar tentu berbeda dengan orang yang kenyang, bukan? Urusan perut memang bisa merembet ke mana-mana.

Wallahu'alam.

Wisata Ziarah Godog



    WISATA ZIARAH GODOG

oleh M. Luthfi


            Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Berbagai khasanah adat istiadat dan kebudayaan menghiasi keragaman masyarakatnya. Bermacam kepercayaan lokal yang ada pada masing-masing kebudayaan turut menambah keunikan dari negeri kepulauan serta kelautan ini. Tak jarang kepercayaan lokal yang ada berasal dari daerah-daerah yang memiliki keindahan alam yang memesona. Salah satunya adalah kawasan ziarah Godog yang berlokasi di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lokasinya berada di atas puncak gunung, dan untuk mencapainya harus melewati deretan puluhan anak tangga yang sangat menantang bila sedang turun hujan. Walaupun sedang turun hujan atau hari telah larut malam, kawasan itu tidak pernah sepi dari pengunjung yang ingin berziarah. Banyak orang yang penasaran, mengapa tempat itu selalu ramai oleh pengunjung, baik dari daerang Jawa Barat maupun luar Jawa Barat bahkan dari mancanegara. Sebenarnya apa yang menjadi daya tarik dari daerah wisata ini, mari kita bahas satu per satu.

            Selain menyajikan keindahan alam hutan pegunungan dengan pepohonannya yang tinggi-tinggi dan besar, sawah yang hijau menghampar, udara yang sejuk menyentuh badan, daerah wisata Godog memiliki nilai sejarah lokal, karena sejatinya Godog adalah tempat ziarah makam dari seorang penyebar Islam di wilayah tersebut. Adalah Prabu Kiansantang, atau yang oleh masyarakat setempat disebut Syeikh Sunan Rohmat Suci, seseorang yang dimakamkan di wilayah itu. Menurut sejarah lokal Jawa Barat, Kiansantang adalah putra dari Prabu Siliwangi—raja Padjadjaran—dengan istrinya yang bernama Ratu Subanglarang. Prabu Siliwangi beragama Hindu sedangkan istrinya beragama Islam. Kemudian diceritakan bahwa ketika Kiansantang telah dewasa, ia pergi ke Mekah untuk ibadah haji dan pulang kembali membawa sewadah tanah. Sepanjang perjalanan menelusuri daerah-daerah di Nusantara, tanah tersebut berceceran. Pada setiap wilayah ceceran tersebut, menjadi tempat lahirnya para wali sanga. Saat menuju Gunung Suci di Garut, tanah yang dibawanya bergoyang atau ngagodeg (bahasa Sunda). Dari itulah nama Godog muncul, maka dari itu Prabu Kiansantang yang menyebarkan Islam di wilayah tersebut mendapat panggilan Syeikh Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog.

Terdapat sembilan makam, satu makam milik Prabu Kiansantang dan delapan lainnya milik pengiring-pengiringnya pada masa itu. Makam-makam tersebut letaknya berurutan dimulai dari pengiring pertama sampai kedepalan, kemudian makam utama atau makam Sunan Godog berada di puncak gunung. Makam utama berada di dalam bangunan berbentuk empat persegi panjang dengan, bercungkup, beratap genteng, berdinding tembok dan berpintu kayu. Di samping kanannya terdapat ruangan tempat menyimpan gundukan tanah keramat yang pernah dibawa Sunan Godog dari tanah Suci Mekah. Biasanya, pengunjung datang ke makam Godog mulai tanggal 10-16 Ma­u­lud. Puncaknya berada pada malam tan­ggal 14 Maulud, di mana tanggal itu selalu diadakan acara ritual "Lung­sur Pusaka". Pada intinya upacara ritual dimaksudkan sebagai ungkapan rasa penghormatan dari masyarakat terhadap Sunan Godog, karena jasanya dalam menyebarkan agama Islam di Tatar Garut. Ungkapan rasa hormat direalisasikan dengan cara ‘’ngamumule’’ (memelihara dan merawat) benda pusaka peninggalan Sunan Godog seperti berbagai bentuk dan jenis keris, kitab Al Qur’an, jubah, pedang dan lain-lain. Benda-benda pusaka ini diturunkan dari dalam peti yang disimpan di atas sebuah ruangan pada bangunan makam, kemudian dibuka penutupnya dan dikeluarkan satu per satu untuk dicuci dengan air bunga dan digosok dengan minyak wangi oleh juru kunci supaya tidak berkarat. Selain itu juga dipertunjukkan berbagai kesenian asli Garut seperti adu ketangkasan domba Garut.

Selain makam keramat, terdapat pula penginapan, mushola, toilet umum, warung makan dan warung kopi yang tersedia di wilayah ziarah tersebut. Terdapat pula kolam pemandian yang berada di puncak gunung namun tidak dibuka untuk umum. Konon, hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke wilayah kolam. Dari penuturan sang juru kunci, wisata ziarah Godog ini merupakan salah satu tempat ziarah yang wajib dikunjungi oleh para kalangan elite pemerintah maupun pengusaha, yang masih percaya hal gaib untuk melanggengkan kekuasaannya. Tempat-tempat ziarah tersebut diarahkan oleh seorang guru spiritual masing-masing individu. Bahkan beliau menyebutkan seorang sosok yang memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi negara ini, rutin mengunjungi wilayah Godog dan mandi di kolam pemandiannya. Inilah hal yang salah dalam negeri ini. Mendoakan seorang pahlawan memang dibolehkan, tetapi bila niatnya sudah meminta macam-macam, itu lain cerita.

Terlepas dari hal di atas, bagi saya pribadi sebagai seorang akademisi, wisata ziarah seperti ini memiliki beberapa kritik sosial. Beberapa tempat ziarah yang saya kunjungi memiliki pola yang sama. Ketika saya datang ke Godog, saya langsung disambut oleh masyarakat yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu yang meminta ‘infak sodaqoh’ kepada saya atau pengunjung lain. Mereka meminta secara agresif, bahkan tidak jarang dengan memaksa, menghadang jalan pengunjung yang akan berziarah. Jika sudah begitu, seseorang yang niat awalnya ingin ibadah pun jadi terganggu karena ulah masyarakat itu. Yang tadinya ingin beramal dengan ikhlas jadi agak menyimpan perasaan kesal akibat anak-anak kecil yang menarik-narik baju. Para pengunjung yang biasa ziarah pun pasti tahu harus menyiapkan beberapa uang receh untuk diberikan kepada mereka.

Hal itu harusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah setempat, tidak seharusnya terjadi peristiwa itu berulang-ulang. Padahal wilayah ziarah Godog telah menjadi bagian dari pariwisata kota dan pengunjung dikenakan Rp1.000 untuk retribusi daerah. Namun pengelolaan serta pembangunan fasilitasnya terkesan lambat. Sayang sekali bila wilayah pegunungan Godog harus dirusak dengan sampah yang berserakan sembarangan. Akomodasi ke puncak gunung yang selalu licin saat hujan pun tidak menjadi perhatian utama. Banyaknya para pejabat dan pengusaha yang berziarah ternyata tidak menjamin tempat tersebut mendapat sumbangan perbaikan yang memadai. Pemerintah daerah setempat juga harus memikirkan bagaimana memberdayakan masyarakat di kawasan ziarah. Agar tidak memanfaatkan kata ‘infak sodaqoh’ kepada para pengunjung. Walau begitu, wisata ziarah Godog tetap ramai dikunjungi para individu-individu yang mencari kepuasan rohani, terlebih lagi jika tempatnya begitu tenang dan sejuk, seperti di Godog.

Kamis, 19 Desember 2013

Konflik Kamboja dan Vietnam Tahun 1976



“Konflik Kamboja dan Vietnam”

oleh  M. Luthfi
Mahasiswa Ilmu Sejarah UI 2011

Pada 1930, Ho Chi Minh berhasil mengusir Perancis dari Vietnam. Konferensi Jenewa tahun 1954 membuat Vietnam terbagi dua, Utara dan Selatan. Hal ini dimanfaatkan oleh Ho Chi Minh untuk menyusupkan para gerilyawannya ke Vietnam Selatan. Dengan bantuan dari Uni Soviet dan RRC, jaringan komunis terbentuk secara luas di Vietnam Selatan. Mereka juga mendapatkan persenjataan dari hasil mencuri di pos-pos Perancis, Inggris dan Amerika. Ho Chi Minh menginginkan adanya persatuan negara Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja) di bawah satu kepemimpinan. Latar belakang Vietnam yang silih berganti dijajah oleh bangsa asing, membuat Ho Chi Minh sangat membenci penjajahan dan ingin menghapuskan segala bentuk penjajahan asing di bumi Indocina.
Vietnam Utara berhasil membuat Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan pada 1960. Pecahlah perang saudara antara Vietnam Utara dan Selatan yang merupakan dampak perang dingin antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Vietnam Utara ingin menghancurkan rezim negara boneka Amerika Serikat yang dipimpin Ngo Dinh Diem. Amerika pun marah dan mengeluarkan ‘resolusi teluk Tonkin’ pad tahun 1964 yang membuat pasuka Amerika Serikat berhak membela segala kepentingan wilayah Vietnam Selatan. Perang berkecamuk antara Amerika dan Vietkong (pasukan komunis Vietnam). Amerika Serikat kewalahan menghadapi pasukan Vietkong. Bom-bom yang dijatuhkan oleh Amerika tak pelak mengenai Kamboja juga. Hal itu dianggap hinaan bagi Sihanouk, pemimpin Kamboja saat itu. Kemudian Kamboja pun memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Sihanouk mengizinkan Vietnam Utara membuat basis militer di wilayah Kamboja, asalkan Vietnam Utara mengakui ketetapan wilayah Kamboja sesuai peta yang dibuat Perancis pada masa kolonial. Perang Indocina tersebut membuat Kamboja mengalami inflasi, banyak pengangguran dan perdagangan gelap hasil bumi. Ketidakpuasan muncul di masyarakat, terutama para petani yang melakukan aksi protes. Hal ini dimanfaatkan Khmer Merah untuk melakukan propaganda dan menyerang pemerintahan Kamboja.
Sihanouk yang condong ke kiri membuat dirinya dikudeta oleh Jenderal Lon Nol dan Sirik Matak yang merupakan golongan liberal. Dengan dukungan Amerika Serikat, Sihanouk digulingkan dan jadilah Lon Nol pemimpin baru Kamboja. Saat itu Sihanouk sedang melakukan pengobatan di Cina, sehingga ia tidak pulang lagi ke Kamboja. Dalam pengasingannya di Peking, Sihanouk bekerjasama dengan Partai Komunis Kamboja untuk menggulingkan Lon Nol. Mereka membentuk Barisan Bersatu Nasional Kampuchea. Melalui BBNK, Sihanouk dan Khmer Merah berhasil mendapatkan dukungan dari masyarakat, terutama golongan petani, untuk menggulingkan pemerintahan Lon Nol.
Khmer Merah menggulingkan Lon Nol pada 17 April 1975, kemudian mendirikan Demokratik Kampuchea. Pada awalnya, kedatangan Khmer Merah disambut baik oleh penduduk Phnom Penh karena dianggap telah membebaskan Kamboja dari pemerintahan korup. Namun ternyata, di tanggal yang sama, Khmer Merah menyuruh masyarakat kota untuk mengosongkan kota dan pergi ke desa-desa asal maupun ke desa lain. Para orang-orang terdidik dibantai oleh mereka. Khmer merah hendak menciptakan masyarakat tanpa kelas, kembali ke kegiatan self sufficient yaitu pertanian. Uang, bank dan pasar dihapuskan oleh Khmer Merah. Tidak ada pendidikan formal bagi anak, yang ada hanyalah sekolah partai untuk pelatihan kader Khmer Merah.
Keadaan yang sangat menekan tersebut membuat sebagian orang yang bisa lolos pergi ke Vietnam dan mengumpulkan kekuatan di sana untuk mengalahkan Khmer Merah. Masalah Vietnam dan Kamboja sebenarnya merupakan suatu efek domino dari masalah yang ada sebelumnya. Konflik Vietnam dan Kamboja tidak hanya berasal dari Vietnam yang diserang Kamboja, tetapi dari permasalahan garis batas antar kedua negara yang tercipta saat colonial Perancis masih ada. Hubungan Vietnam dan Kamboja makin memburuk selama itu hingga kejatuhan Khmer Merah pada tahun 1979.

Sumber:
 Muctahr E. Harahap dan M. Abriyanto. Konflik Damai Kampuchea. 1990. Jakarta.
Skripsi Diana Yulianty tentang Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya pada 1975-1979.