Sebuah Jawaban
oleh M. Luthfi
terinspirasi dari puisi Kahlil
Gibran “Cinta”
Salahlah bagi orang yang mengira bahwa cinta itu datang
karena pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus.
Cinta adalah tunas pesona jiwa,
dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat,
ia takkan tercipta bertahun-tahun
atau bahkan abad.
CINTA
Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia
walau jalannya terjal berliku,
jika cinta memelukmu maka
dakaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.
CINTA
Cinta tidak menyadari kedalamannya dan terasa pada saat perpisahan pun tiba.
Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan seorang perempuan
mereka berdua telah menyentuh hati keabadian.
CINTA
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia
kerana cinta itu membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan
dan gejala alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.
CINTA
Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku
dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita
dalam kehidupan yang akan datang.
karena pergaulan yang lama dan rayuan yang terus menerus.
Cinta adalah tunas pesona jiwa,
dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat,
ia takkan tercipta bertahun-tahun
atau bahkan abad.
CINTA
Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia
walau jalannya terjal berliku,
jika cinta memelukmu maka
dakaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.
CINTA
Cinta tidak menyadari kedalamannya dan terasa pada saat perpisahan pun tiba.
Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan seorang perempuan
mereka berdua telah menyentuh hati keabadian.
CINTA
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia
kerana cinta itu membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan
dan gejala alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.
CINTA
Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku
dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita
dalam kehidupan yang akan datang.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Entahlah, aku tidak tahu, Rik. Aku belum memikirkan
itu.”
“Tetapi aku bersungguh-sungguh. Aku bisa saja datang
ke rumahmu dan bertemu ayah ibumu, lalu mengatakan bahwa aku...”
“Tidak semudah itu, Rik. Apa kamu tidak menyadari
posisi kita sekarang? Aku, aku bingung.” jawabnya dengan perasaan campur aduk.
Aku sendiri menjadi lebih bingung saat Nisa berkata seperti itu. Kata
penyesalan tidak cukup untuk mewakili apa yang sedang aku rasakan. Kulihat
dirinya begitu kaku, sedikit bicara, tanpa mengangkat kepalanya untuk melihat
ke arahku. Tidak seperti Nisa yang kukenal, seorang gadis muda enerjik yang
sangat tangkas, kreatif, dan pintar membawa suasana menjadi sangat
menyenangkan. Aku jadi teringat beberapa tahun ke belakang saat pertama aku
mengenal dirinya. Setahun aku mengenalnya, selama itu pula aku makin tertarik
pada dirinya, dan kemudian memberanikan diri untuk mengatakan cinta kepadanya.
Ia menerimaku. Ah, betapa bahagianya. Begitu besar luapan perasaan yang
kurasakan saat dia mengatakan ‘iya’ dengan senyum manisnya. Begitu besarnya
perasaan bahagia ini hingga kuingin bagikan kepada semua orang di sekitarku,
ayah, ibu, dan teman-temanku. Namun sayangnya, aku dan Nisa hanya bisa berbagi
kebahagiaan itu satu sama lain, tanpa orang lain tahu. Karena menurut kami
itulah pilihan terbaik untuk kami berdua berbagi kasih di saat orang-orang di sekitar
kami sangat membenci hal yang kami lakukan. Pacaran.
Namaku Ahmad Riki Al Hasan, teman-temanku sering
memanggilku ‘Riki’ atau sekedar ‘Rik’. Aku besar di lingkungan keluarga yang amat
menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tiap-tiap apa yang aku lakukan, harus
sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku dalam ajaran agamaku. Sejak kecil aku
sudah terbiasa bangun dini hari untuk solat tahajud. Sejak kecil aku juga sudah
rutin melakukan puasa sunah, mau itu puasa Nabi Daud ataupun puasa senin-kamis.
Kuhapalkan juz terakhir dari kitab suciku. Ratusan doa sehari-hari sudah di
luar kepala. Ketika aku berumur 6 tahun, aku dimasukkan ke dalam sekolah dasar
Islam, atau Madrasah Ibtidaiyah. Lulus dari sana, aku kembali masuk sekolah
menengah pertama Islam, atau Madrasah Tsanawiyah. Sudah hapal dan sering
diulang-ulang materi agama yang diajarkan kepadaku. Tanpa bermaksud sombong,
bisa dibilang jika aku dapat tugas khotbah Jumat, aku sudah dapat dipanggil
sebagai Ustad Muda. Sepertinya orangtuaku benar-benar mempersiapkanku sebagai
orang yang lurus. Aku pun merasa aku sudah menjadi orang yang sesuai seperti
yang kitab suci ajarkan. Meski begitu, aku merasa ada sesuatu ‘kehampaan’ yang
tidak bisa aku ungkapkan.
Lulus dari MTs, aku justru masuk ke SMA biasa. Di
usiaku yang menjelang 17 tahun sepertinya orangtuaku sedikit melonggarkan
napasku untuk memilih apa yang aku inginkan. Sehingga aku memilih untuk
bersekolah di sekolah negeri reguler, tetapi bukan berarti aku bosan dengan
sekolah keagamaan. Niatku masuk ke sekolah negeri biasa karena ingin berdakwah,
berbagi ilmu yang aku miliki kepada calon-calon temanku nanti. Makanya, di SMA
aku mengikuti ekstrakulikuler Rohani Islam, yang sering disebut sebagai Rohis.
Orangtuaku juga selalu mengawasi perkembangan masa SMA ku. Di Rohis inilah aku
bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi tambatan pertama hatiku. Sebelumnya
aku adalah orang yang tidak pernah tahu apa itu cinta. Namanya Nisa Ul Jannah,
kami para anak Rohis suka memanggilnya Jannah, meski aku lebih suka
memanggilnya Nisa. Ketertarikanku pada dirinya berasal dari sikap ramahnya
kepada semua orang, sisi cerianya yang membuatnya bisa bergaul dengan siapa
saja, serta manis wajahnya yang membuatku selalu teringat padanya. Kusebut dia
manis karena memang Nisa bukanlah wanita yang cantik, tetapi manis, enak
dilihat. Aku lebih suka dengan wanita yang manis namun dapat kuingat selalu,
ketimbang wanita yang cantik tetapi harus berebut perhatian dengan anak laki-laki
lain.
Jujur, aku tidak pernah berniat untuk melakukan apa
yang disebut pacaran. Mungkin teman-teman sebayaku lainnya dapat dengan mudah
melakukannya. Mengingat diriku yang sudah dijejel ilmu-ilmu agama sejak kecil,
rasanya sulit untuk bisa menyentuh zona tersebut. Aku sendiri menghakimi bahwa
pacaran itu haram, sebuah hubungan yang tidak sah menurut agama. Namun naluri
alamiahku berkata lain. Logika yang kuterima dari sekolah negeri biasa sangat
berbeda jauh dengan sekolah berbasis agama. Tidak ada yang benar atau salah,
jika ada masalah maka peraturan sekolah menjadi pedoman yang tertinggi untuk
menentukan siapa yang benar atau salah. Pola berpikirku semakin berkembang dan
terbuka. Wawasan yang dahulu kuterima dari satu pihak, kini kuterima dari berbagai
pihak. Aku mulai mengubah pandanganku tentang pacaran. Pacaran sah-sah saja,
selama masih dalam batas yang wajar. Lagipula bila kita menjadi orang yang
lurus-lurus saja, maka tidaklah menarik hidup kita ini.
Hubungan komunikasiku dengan Nisa semakin kupererat.
Meski begitu aku tetap jaga jarak padanya, takut dia merasa kalau aku sedang
mendekatinya. Aku kan tidak tahu apakah Nisa seseorang konservatif atau
seseorang yang berpikiran terbuka sepertiku. Setahun kujalani komunikasi
dengannya, dia sudah mulai dekat denganku. Mau berbagi cerita dan curhat
kepadaku. Kami suka berjalan bersama, jika Rohis ada acara sampai malam aku
diminta untuk mengantarkannya pulang. Dia percaya kepadaku. Tawa canda duka
lara sudah kami lewati, meski aku belum ‘sah’ menjadi pacarnya. Aku masih ragu
jika Nisa adalah orang yang bisa dipacari. Pakaiannya saja amat tertutup rapat,
dengan jilbab yang panjang menjuntai sampai ke pinggangnya. Tipe-tipe wanita
tarbiyah masa kini. Tetapi aku berpikir, jika tidak dicoba mana bisa aku tahu.
Kemudian terjadilah usaha ‘penembakan’ dariku saat kami sedang berjalan-jalan
ke taman wisata. Dan dia ternyata menerimanya. Dimulailah petualangan asmara
dua muda-mudi yang dipenuhi banyak rasa penasaran.
Dua tahun berjalan, kami semakin kenal satu sama lain.
Kami semakin terbuka satu sama lain. Tidak kusangka jika wanita berjilbab rapat
seperti dirinya memiliki nafsu yang besar terhadap lawan jenisnya. Walau kami
Rohis, kami tidak malu untuk berpegangan tangan, saling mengusap kepala, berpelukan,
bahkan....lebih dari itu. Tentunya hal-hal itu kami tidak lakukan di depan
orang-orang, apalagi di sekolah. Kami menjaga benar-benar hubungan kami berdua.
Aku mulai bimbang dengan keadaan ini, dulu aku menaruh rasa hormat yang tinggi
kepada wanita-wanita berhijab tertutup auratnya. Namun setelah aku mengenal
Nisa aku jadi penasaran, apakah ada wanita-wanita berhijab lain di luar sana
yang memiliki sifat seperti Nisa. Di depan teman-teman Rohis yang lain,
sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia seorang bernafsu besar. Tetapi
bila sedang berduaan dengan pacarnya, itu lain cerita.
Aku punya sebuah teori yang menjawab hal itu. Setiap
malam aku selalu berpikir kenapa hal itu bisa terjadi. Melihat latar belakangku
dan latar belakang Nisa, semuanya menjadi jelas. Kami berdua adalah korban dari
kungkungan orangtua sejak kecil, yang memberontak di masa remaja. Menurut
Sigmon Freud, sesuatu yang ditahan-tahan lama-lama akan meledak. Itulah yang
terjadi pada kami. Kami menahan diri dari apa yang dilarang agama, tetapi
akhirnya tidak kuasa kami bendung karena kami hanya remaja manusia biasa yang
memiliki rasa ingin tahu yang besar. Aku menikmatinya selama ini meski aku
sering didatangi perasaan bersalah. Orangtua kami berdua pasti akan marah
sejadi-jadinya bila mengetahui hal ini. Jangankan ciuman, hanya
berpandang-pandangan yang bukan muhrim saja pasti kami pasti ditegur keras. Aku
mencintai dirinya dengan sungguh-sungguh. Sebuah pemikiran ekstrim melintas di
kepalaku, bahwa aku akan menikahinya kelak, setelah aku menyatakan niat tulusku
kepada orangtuanya.
Dan itulah yang sedang terjadi sekarang. Kami berdua
duduk di bangku taman tempat kami sering bercengkerama. Aku masih menunggu
kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Menunggu dengan bingung terhadap
diriku sendiri. Seandainya saja kuingat niatku untuk berpacaran dengan sehat,
mungkin tidak seperti ini jadinya. Tapi itu semua terjadi karena mau sama mau,
suka sama suka. Ya, kami berdua sedang diliputi kegelisahan yang besar. Sebuah
jawaban yang akan mempengaruhi hubunganku dengan Nisa ke depannya. Ia masih
saja terdiam kaku, tanpa kata. Dan aku masih menunggu.
“Rik, kita masih sekolah. Kenapa kamu...”
“Karena aku serius Nis. Aku sungguh-sungguh denganmu.
Dan aku juga punya tanggung jawab kepadamu. Sebuah tanggung jawab yang
terlanjur aku harus lanjutkan. Aku mau kamu menjadi yang pertama dan terakhir
bagiku. Kita kan sebentar lagi lulus, banyak kok yang menikah muda setelah
lulus SMA. Dan itu wajar terjadi di golongan Islam seperti kita.”
“Tapi orangtua kita pasti curiga. Kita tidak pernah
ketahuan dekat, tidak pernah ta’arufan dan tiba-tiba kamu datang ke orangtuaku
untuk meminangku. Pasti sulit!”
Aku kembali dibuat diam olehnya. Akhirnya kumengerti sebuah pelajaran dari
pengalaman ini. Dulu aku yang memutuskan untuk keluar dari jalur ‘lurus’, dan
dengan mudah Tuhan mengabulkan keinginanku. Kini kuberada di jalan yang
berliku, penuh hambatan dan kebingungan. Kuharap Tuhan kembali mengembalikan
jalanku, dengan cara yang berbeda tentunya. Kuingin menjadi yang halal bagi
Nisa, dan ia pun memiliki keinginan yang sama. Kutahu itu dari tatapan matanya
yang harap-harap cemas. Namun, aku masih menunggu sebuah jawaban dari dirinya.
Sebuah kepastian yang akan mengubah segalanya.